Nama Anggota:
1. Brenda
Amelia Panggabean
2. Deanysa
Buggy Asih
3. Diah
Ayu Romadhoni
4. Diena
Islamiati Hanifah
5. Elfa
Inkabaturia Ciptanti
6. Eva
Rosalina Christy
7. Farah
Fuzyah Putri
8. Juliana
Agnes
9. Karlina
Septiyani
10. Khansa
Larissa Desideria
11. Melysa
Kelas: 2PA18
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
ALLPORT
Kepribadian
menurut Allport adalah pengorganisasian dinamis dalam diri individu dimana
sistem psikofisiknya menentukan perilaku dan pikirannya.
Ciri pribadi
yang sehat menurut Alport :
Pertama,
pribadi yang sehat secara psikologis dicirikan oleh sikap proaktif, yaitu tidak
hanya bereaksi seacara eksternal, tetapi juga sanggup bertindak dengan sadar
terhadap lingkungannya dengan cara-cara baru dan inovatif, sehingga lingkungan
pun bereaksi kepada mereka juga.
Kedua,
kepribadian yang sehat lebih termotivasikan oleh proses-proses sadar
ketimbang pribadi yang terdistorsi, menjadikan mereka lebih fleksibel dan
mandiri ketimbang pribadi sehat yang masih terus didominasi oleh motif-motif
bawah sadar yang muncul dari pengalaman masa kanak-kanak.
Allport
mengidentifikasikan enam kriteria bagi kepribadian yang sehat:
Pertama,
adalah perluasan konsep diri. Pribadi yang sehat terus berusaha mengidentifikasikan
dan berparisipasi dalam peristiwa-peristiwa di luar diri mereka. Mereka tidak
berpusat pada diri mereka sendiri, melainkan sanggup menyelami masalah dan
aktivitas-aktivitas di luar dirinya.
Kedua,
pribadi yang sehat dicirikan oleh “hubungan hangat dirinya dengan orang lain”.
Mereka memiliki kemampuan untuk mencintai orang lain dengan cara yang intim dan
penuh kasih. Individu yang sehat secara psikologis memperlakukan orang lain
dengan penuh penghargaan dan mereka menyadari bahwa kebutuhan, hasrat, dan
harapan orang lain tidaklah berbeda dari yang mereka miliki.
Ketiga,
adalah rasa aman emosional dan penerimaan diri. Individu yang sehat menerima
diri apa adanya dan memiliki apa yang disebut Allport muatan emotif. Pribadi
yang sehat psikologisnya tidak begitu jengkel jika terdapat hal-hal yang tidak
berjalan seperti yang direncanakan atau ketika mereka mengalami hal buruk.
Demikian juga mereka senantiasa tidak merasa terluka karena sadar bahwa rasa
frustasi dan tidak nyaman adalah bagian dari hidup itu sendiri.
Keempat,
pribadi yang sehat secara psikologis memiliki persepsi yang realistis tentang
lingkungan sekitarnya. Mereka tidak hidup di dunia fantasia tau memaksakan
realitas agar cocok dengan keinginannya. Mereka lebih berorientasi pada masalah
daripada rasa egoismenya.
Kelima,
adalah insight (kedalaman
wawasan) dan humor. Pribadi sehat
mengenal dirinya sehingga tidak perlu melimpahkan kesalahan dan kelemahan
mereka kepada orang lain. Mereka juga memiliki rasa humor yang tidak sinis,
yang memberikan kemampuan untuk menertawakan diri sendiri daripada hanya
mengandalkan tema-tema seksual atau agresivitas untuk memunculkan tawa dari
orang lain.
Keenam,
adalah memiliki filsafat hidup yang menyatukan. Pribadi yang sehat memiliki
konsep yang jelas tentang tujuan hidup. Tanpa ini, wawasan mereka akan terasa
seperti kosong dan tandus, dan humor mereka akan merosot menajdi sinis dan
picisan. Filsafat hidup yang menyatukan bisa berupa konsep agama. Pribadi
dengan sikap religious yang sehat dan filsafah hidup yang menyatukan memiliki
suara hati yang berkembang dengan baik dan memiliki hasrat kuat untuk melayani
orang lain.
TAYANGAN
TENTANG PANDANGAN HUMANISTIK (ALLPORT)
Link:
https://youtu.be/TerbKlq98aQ
ROGERS
Teori Person-Centered
Meskipun konsep kemanusian Rogers pada
dasarnya tidak berubah sejak awal 1940-an sampai meninggal pada 1987,Tetapi
teorinya sudah mengalami beberapa prubahan nama. Selama tahun awal pendekatanya
disebut “non-direktif” istilah yang tidak begitu keren yang terus di
asosiasikan dengan namanya untuk waktu yang cukup lama. Kemudian nama mulai di
ganti menjadi “clicnt-centered”,”person-centered”,dan “ person to person”. Dari
semua teori ,teori person-centered Rogers yang paling mendekati standar ini.
Salah satu contoh konstruksi jika-maka adalah Jika kondisi tertentu hadir ,
maka suatu proses meski akan terjadi ; jika proses semamca ini muncul,maka
hasil-hasil tertentu bisa kita prediksi .Contoh yang lebih spesifik dapat
ditemkan dalam terapi : Jika terapis kongruen dan mampu mengomunikasikan
anggapan positif tanpa syarat dan empati yag akurat kepada klien,maka perubahan
dalam terapi akan terjadi,jika prubahan dalam terapi terjadi,maka klien akan
mengalami penerimaan dari lebih besarmpercaya diri lebih besar dan seterusnya.
( Kita akan mendiskusikan kongruensi anggapan positif tanpa-syarat,dan empati
akurat lebih lengakap di bagian Psikoterapi ) .
Asumsi-Asumsi Dasar
Asumsi dasar teori Person-centered Rogers
merumuskan dua Asumsi besar kecenderungan formatif dan kecenderungan
mengaktualisasi .
Kecenderungan Formatif
Rogers menyebut proses ini kecenderungan
formatif (formatif tendency) dan mengambil banyak contoh dari alam .Contohnya
galaksi bintang-bintang yang kompleks terbentuk dari massa yang awalnya kurang
begitu terorganisasikan ;kristal-kristal seperti butiran salju muncul dari uap
yang tidak berbentuk ; organisme yang kompleks berkembang dari satu sel tunggal;
dan kesadaran manusia berkembang dari awal bawah sadar primitif menjadi alam
sadar yang sangat terorganisasikan .
Kecenderungan-Mengaktualisasi
Kebutuhan ini mencakup kebutuhan-kebutuhan
dasar seperti makanan dan rasa aman,namun kebutuhan itu juga mencakup kecenderungan
untuk melawan perubahan. Meskipun manusia memiliki hasrat kuat untuk memelihara
status quo namun, mereka bersedia untuk belajar dan berubah. Kebutuhan ini menjadi
lebih besar,berkembang dan mencapai pertumbuhan optimal yang disebut Rogers
Perkembangan,kebutuhan untuk belajar hal-hal yang tidak segera mendapatkan
penghargaan .Kebutuhan perkembangan ini terekspresikan dalam beragam bentuk
,seperti rasa ingin tau,kesukaan bermain eksploras diri persahabatan dan
keyakinan bahwa seseorang dapat mencapai pertumbuhan psikologis. Pribadi miliki
dalam dirinya daya kreatif untuk memecahkan maslah,mengubah konsep diri
mereka,dan menjadi semakin terarah-pada-diri-sendiri ( self-directed).
Individu-individu realitas,dan mereka tahu realitas tertentu kebih baik dari
realitas lain.
Ketidakkongruenan
(incongruency)
Organisme
dan diri merupakan dua entitas terpisah yang dapat kongruen satu sama lain atau
tidak. Kecenderungan- mengaktualisasi mengacu pada kecenderungan organisme
untuk bergerak menuju pemenuhan, sedangkan aktualisasi-diri adalah hasrat untuk
mencapai pemenuhan diri yang dipahami. Dua kecenderungan ini terkadang juga
bisa bergantian posisi satu sama lai.
Ketidakseimbangan
psikologis dimulai saat kita gagal untuk menyadari pengalaman-pengalaman
keorganisme-an kita sebagai pengalaman diri : jika kita tidak menyimbolkan
secara akurat pengalaman penghayatan organsmik tersebut menjadi kesadaran
karena mereka akan tampak tidak konsisten dengan konsep-diri kita.
Ketidakkongruenan antara konsep-diri dan penghayatan organismic adalah sumber
gangguan psikolgis.
Kerapuhan.
Rongers (1959) percaya bahwa manusia menjadi rapuh (vulnerable) saat mereka
tidak menyadari cacat antara diri organismic dan pengalaman mereka yang
signifikan. Karena kurang menyadari ketidakkongruenan ini, pribadi yang rapuh
sering kali bersikap dengan cara-cara yang tidak komprehensif bukan hanya
terhadap orang lain tetapi juga terhadap dirinya sendiri.
Kecemasan
dan Ancaman. Rongers (1959, hlm, 204) mendefinisikan kecemasan sebagai “kondisi
tidak nyaman atau ketegangan yang penyababnya tidak diketahui”. Kecemasan dan
ancaman dapat dorong kita melangkah maju menuju kesehatan psikologis karena
memberi sinyal pada kita bahwa penghayatan organismic sudah tidak lagi
konsisten dengan konsep-diri kita. Namun begitu, keduanya bukan perasaan yang
menyenangkan atau nyaman.
Pertahanan Diri
Kita memahami pengalaman dalam kesadaran namun
gagal memahami makna yang sesungguhnya.Sementara penyangkalan (denial) adalah
penolakan untuk memahami pengalaman dalam kesadaran kita, atau minimal
menjauhkan beberapa aspeknya mencapai simbiolis. Menurut Rogers (1959) baik
distorsi maupun penyangkalan melayani tujuan yang sama- mereka mempertahankan
presepsi kita tentang penghayatan organismik yang konsisten dengan konsep diri,
mengizinkan kita mengabaikan atau menghalangi pengalaman yang dapat menyebabkan
rasa cemas atau ancaman yang tidak menyenangkan.
Disorganisasi (Disorganization)
Kebanyakn orang terlibat dalam prilaku
defensif namun kadang-kadang pertahanan diri ini gagal dan perilaku pun menjadi
tidak lagi terorganisasikan, atau psikotik. Tetapi kenapa pertahanan diri bisa
gagal?
Untuk menjawabnya,kita harus melacaknya dari
prilaku tidak terorganisasikan yang memiliki asal usul sama dengan prilaku
defensif normal, yaitu ketidakkongruenan penghayatan organismik dan konsep
diri. Disorganisasi dapat muncul
tiba-tiba, atau ber-lama. Ironisnya banyak priubadi rapuh terhadap
disorganisasi prilaku ini selama terapi.Dalam kondisi disorganisasi ini, orang
kadang bersikap konsisten dengan penghayatan organismik mereka dan kadang
bersesuaian dengan konsep diri yang mereka lindungi.Contoh kasus adalah seorang
perempuan yang awalnya sopan dan dapat mengendalikan diri dengan
tepat,tiba-tiba mulai menggunakan kosakata yang jelas-jelas bernada seks dan
kasar.
Psikoterapi
Terapi client
– centered mudah di ucapkan namun sulit di praktikkan.Singkatnya,
pendekatan client-centered ingin agar
pribadi yang rapuh atau cemas dapat tumbuh sehat secara psikologis, tetapi
mereka harus menjalin kontak dengan terapis yang kongruen dan yang memahami
terapis sebagai penyedia atmosfer penerimaan tanpa syarat dan empati akurat.
Proses
Tahap – Tahap Perubahan Terapi
Jika
kondisi kongruensi terapis, anggapan positif tanpa syarat dan mendengarkan
secara empatik sudah muncul, maka proses perubahan terapis siap dilakukan.
Proses
perubahan kepribadian yang konstruktif dapat diletakkan dalam sebuah kontinum
dari sikap yang paling defensif sampai yang paling terintegrasi. Rogers (1961)
membagi kontinum ini menjadi tujuh tahap :
- Tahap 1, Dicirikan oleh ketidakrelaan klien untuk mengomunikasikan apapun tentang dirinya. Pribadi di tahapan ini biasanya tidak mencari bantuan namun, jika untuk beberapa alas an mereka datang ke terapi, biasanya mereka sangat rigid dan resisten terhadap perubahan. Mereka tidak mengakui adanya masalah yang menimpanya dan menolak untuk mengungkapkan perasaan atau emosinya.
- Tahap 2, Klien menjadi agak kurang ketat. Mereka mulai membahas peristiwa – peristiwa eksternal dan orang lain, tetapi masih tidak mengakui atau gagal memahami perasaan – perasaan mereka sendiri. Namun mereka sudah mulai dapat membahas tentang perasaan – perasaan pribadi seolah-olah perasaan itu fenomena objektif.
- Tahap 3, Klien menjadi lebih bebas untuk membicarakan diri mereka, meskipun masih sebagai objek. Klien membicarakan perasaan dan emosinya dengan menggunakan model kalimat past tense atau future tense, menghindari pembicaraan perasaan dan emosinya saat ini.
- Tahap 4, Klien mulai membicarakan perasaan lebih dalam namun tidak satupun mengenai yang dirasakan sekarang. Saat klien mengekspresikan perasaan – perasaan saat ini, mereka biasanya terkejut dengan ungkapan ini. Mereka mungkin menyangkal atau mendistorsi pengalaman – pengalaman, meskipun memiliki juga beberapa kesadaran samar – samar bahwa mereka sanggup merasakan emosi di masa kini. Mereka menerima lebih banyak kebebasan dan tanggung jawab dari yang sudah mereka lakukan di tahap 3 dan mulai mengizinkan secara tentatif untuk terlibat dalam hubungan dengan terapis.
- Tahap 5 , Klien sudah mulai menjalani perubahan dan pertumbuhan yang signifikan. Mereka dapat mengekspresikan perasaan – perasaan saat ini. Mereka mulai mengandalkan lokus internal evaluasi bagi perasaan mereka dan melakukan penemuan yang segar dan baru tentang diri mereka sendiri. Mereka juga mengalami pembedaan lebih besar perasaan – peraan dan mengembangkan apresiasi yang lebih besar bagi nuansa – nuansa diantara mereka. Selain itu, mereka mulai membuat keputusan – keputusan mereka sendiri dan menerima tanggung jawab bagi pilihan – pilihan mereka.
- Tahap 6, Klien mengalami pertumbuhan dramatis dan pergerakan yang tidak dapat dibalikkan lagi, menjadi berfungsi atau mengaktualisasikan diri sepenuhnya. Mereka mengizinkan pengalaman – pengalaman yang sebelumnya disangkal atau didistorsi masuk ke dalam kesadaran yang bebas. Mereka mulai memiliki rasa perhatian dan sayang yang sejati bagi diri baru yang sudah terbentuk saat ini. Klien dapat mengalami seluruh diri-organismik mereka, seperti mengendurnya urat saraf, mengalirnya air mata, perbaikan sirkulasi darah, dan kehilangan simtim – simtom fisik.
- Tahap 7, Dapat terjadi diluar pertemuan terapi kerena pertumbuhan di tahap 6 sudah tidak bisa dibalikkan lagi. Mereka sanggup menggeneralisasikan pengalaman – pengalaman terapi ke dunia luar terapi. Mereka mengalami keyakinan untuk menjadi diri sendiri di semua waktu, untuk memiliki, dan merasakan secara mendalam totalitas penglaman mereka, dan untuk menghidupkan pengalaman – pengalaman termasuk di masa kini.
Kondisi kondisi
Rogers
(1959) merumuskan bahwa agar pertumbuhan terapi bisa terjadi, kondisi kondisi
tersebut harus cukup.
Pertama,
seorang klien yang cemas atau rapuh harus menjalanin kontak terapi pada yang
memiliki empati dan tanggapan yang positif
Kedua,
klien harus mengetahui bahwa ciri ini dimiliki oleh calon terapi
Ketiga,
kontak antara terapi dan klien harus terjadi berdurasi
Signitifikasi
hipotesis rogers ini sangat revolusionar. Dihampir setiap terapi dari yang
pertama sampai yang ketiga klien dan pasien termotivasi oleh sejumlah tegangan
saat mencari pertolongan dan hubungan antara klien dan terapi berlangsung dalam
periode tertentu.
Meskipun
ketiga kondisi ini dibutuhkan secara psikologis Rogers yakin bahwa kongruensi
lebih mendasar ketimbangan anggapan positif tanpa syarat atau mendengarkan
secara empatik.
Kongruensi
adalah kualitas kualitas umum yang harus dimiliki oleh sang terapis.
Kongruensi konselor
Kondisi
pertama yang dibutuhkan dan cukup bagi sang terapis adalah seorang terapis yang
kongruensi. Kongruensi muncul ketika penghayatan organismik seseorang cocok
dengan sesadaran akan pengalaman pengalaman tersebut, dan juga cocok untuk
kemampuan dan kesediaan untuk mengekspresikan secara terbuka perasaan perasaa
tersebut.
Terapis
yang kongruensi juga tidak stasis. Seperti anyak orang pada umumnya. Mereka
secara konstan terbuka kepada pengalaman.
Didalam
kongruensi juga melibatkan 3 faktor yaitu :
- Perasaaan
- Kesadaran
- Ekspresi
Maka
ketidak konguruensi dapat muncul dari ketiga titik yang membedakan :
Pertama,
dia dapat muncul karena terputus hubungan antara perasaan dan kesadaran
Kedua,
ketidak kongruensi adalah pertentangan antara kesadaran terhadapan pengalaman
dan kemampuan.
Angagapan positif tanpa
syarat
Anggapan
positif adalah kebutuhan untuk menjadi disukai diterima, dan dihargai oleh
orang lain. Jika kebutuhan ini dipenuhi tanpa persyaratan atau kualifikasi
apapun maka anggapan positif tanpa syarat akan muncul.
Terapis
memiliki anggapan positif tanpa syarat apabila mereka mengelami sikap positif,
hangat, merasa dihargai dan penerimaan.
Seorang
terapis dengan anggapan tanpa syarat terhadap klien akan menunjukkan kehangatan
yang tidak posesif dan penerimaan terhadap pribadi klien yang apa adanya,
sebuah sikap yang boleh dibuat buat.
Anggapan
positif tanpa syarat berarti trapis menerima dan menghargai klien tanpa
ketentuan atau persyaratan apa pun, bahkan tidak mengindahkan perilaku pasien
yang ekstrem selama sesi terapi berlangsung.
Meskipun
anggapan postif tanpa syarat merupakan istilah yang agak menajubkan namun
masing masing dari ketiga kata ini memiliki proporsi yang penting. “anggapan”
beraarti memiliki hubungan yang dekat “positif” berarti perasaan hangat dan
menerim apa adanya dan “syarat” anggapanpositif ini tidak lagi bergantung pada
tindakan tertentu klien yang bergantung pada tindakan klien yang harus terus
menerus diupayakannya.
Mendengarkan
secara empati ..
isi
ketiga yang di butuhkan dan cukup bagi pertumbuhan psikologis adalah
mendengarkan secara empatik (empathic listening). Empati muncul saat terapis
secara akurat merasakan perasaan perasaan klien dan sanggup mengkomunikasikan
presepsi presepsi ini sehingga klien tahu bahwa orang lain sudah memasuki dunia
perasaan mereka tanpa prasangka, proyeksi ataupun penghakiman. Bagi Rogers
(1980, helm 142) empati berarti tinggal sementara waktu dalam kehidupan orang
lain, menggerakkannya secara halus tanpa harus melakukan penghakiman. Empati bukanlah interpretasi terhadap
pengertian yang dimaknai pasien atau menyingkapkan perasaan perasan tak sadar
mereka, karena prosedur prosedur ini mengandung kerangka acuan eksternal dan
akan di rasakan sebagai sebuah ancaman oleh klien.
TAYANGAN
TENTANG PANDANGAN HUMANISTIK (ROGERS)
SUMBER: Diringkas
dari buku Theories Of Personality (Jess Feist & Gregory J. Feist) Edisi
Keenam.