I.
Logoterapi
Logoterapi
diperkenalkan oleh Viktor Frankl, seorang dokter ahli penyakit saraf dan jiwa
(neuro-psikiater). Logoterapi berasal dari kata “logos” yang dalam bahasa
Yunani berarti makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan terapi
adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara umum dapat digambarkan
sebagai corak psikologi/ psikiatri yang mengakui adanya dimensi kerohanian pada
manusia di samping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna
hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will of
meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna
(the meaningful life) yang didambakannya.
a.
Konsep dasar pandangan Frankl tentang
kepribadian
Pandangan
Frankl tentang kesehatan psikologis menekankan pentingnya kemauan akan arti.
Tentu saja ini merupakan kerangka, di dalamnya segala sesuatu yang lain diatur.
Frankl berpendapat manusia harus dapat
menemukan makna hidupnya sendiri dan setelah menemukan lalu mencoba untuk
memenuhinya. Bagi Frankl setiap kehidupan mempunyai makna, dan kehidupan itu
adalah suatu tugas yang harus dijalani. Mencari makna dalam hidup inilah
prinsip utama teori Frankl Logoterapi. Logoterapi memiliki tiga konsep dasar,
yakni
1. Kebebasan
berkehendak (Freedom of Will)
Dalam
pandangan logoterapi, manusia adalah mahluk yang istimewa karena mempunyai
kebebasan. Kebebasan yang dimaksud dalam freedom
of will seperti:
a) Kebebasan
yang bertanggungjawab.
b) Kebebasan
untuk mengambil sikap (freedom to take a
stand) atas kondisi - kondisi tersebut.
c) Kebebasan
untuk menentukan sendiri apa yang dianggap penting dalam hidupnya.
2. Kehendak
Hidup Bermakna (The Will to Meaning)
Konsep
keinginan kepada makna (the will to
meaning) inilah menjadi motivasi utama kepribadian manusia. Dalam
psikoanalisa memandang manusia adalah pencari kesenangan. Pandangan psikologi
individual bahwa manusia adalah pencari kekuasaan. Menurut logoterapi bahwa
kesenangan merupakan efek dari pemenuhan makna, sedangkan kekuasaan merupakan
prasyarat bagi pemenuhan makna. Mengenal makna, menurut Frankl bersifat menarik
dan menawari bukannya mendorong. Karena sifatnya menarik maka individu
termotivasi untuk memenuhinya. Agar individu menjadi individu yang bermakna,
maka melakukan berbagai kegiatan yang syarat dengan makna.
3. Makna
Hidup (The Meaning Of Life)
Makna
yaitu suatu hal yang didapat dari pengalaman hidupnya baik dalam keadaan senang
maupun dalam penderitaan. Makna hidup dianggap identik dengan tujuan hidup.
Makna hidup bisa berbeda antara satu dengan yang lainya dan berbeda setiap
hari, bahkan setiap jam. Karena itu, yang penting secara umum bukan makna
hidup, melainkan makna khusus dari hidup pada suatu saat tertentu. Setiap
individu memiliki pekerjaan dan misi untuk menyelesaikan tugas khusus. Dalam
kaitan dengan tugas tersebut dia tidak bisa digantikan dan hidupnya tidak bisa
diulang. Karena itu, manusia memiliki tugas yang unik dan kesempatan unik untuk
menyelesaikan tugasnya.
b.
Unsur – unsur terapi
Munculnya gangguan /
kecemasan
Saat individu tidak
memiliki keinginan terhadap sesuatu (apapun), karena keinginan akan mendorong
setiap manusia untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya di rasakan
berarti dan berharga. Menurut Frankl (2004) terdapat dua tahapan pada sindroma
ketidak bermaknaan, yaitu: Frustasi eksistensial (exsistential frustration) atau disebut juga kehampaan
1.
Eksistensial
(exsistetial vacuum)
Menurut
Koesworo (1992) exsistential frustration
adalah fenomena umum yang berkaitan dengan keterhambatan atau kegagalan
individu dalam memenuhi keinginan akan makna.
2.
Neurosis
noogenik (noogenic neuroses)
Yaitu
suatu manifestasi khusus dari frustasi eksistensial yang ditandai dengan
simptomatologi neurotik klinis tertentu yang tampak (Koesworo,1992). Frankl
menggunakan istilah ini untuk membedakan dengan keadaan neurosis somatogenik,
yaitu neurosis yang berakar pada kondisi fisiologis tertentu dan neurosis
psikogenik yaitu neurosis yang bersumber pada konflik-konflik psikologis.
c.
Teknik – teknik terapi
1. Teknik
Intensi Paradoksikal (Perlawanan Terhadap Niat)
Teknik
ini didasarkan pada dua fakta, yaitu (1) rasa takut bisa menyebabkan terjadinya
hal yang ditakutkan (2) keinginan yang berlebihan bisa membuat keingginan
tersebut tidak terlaksana. Dalam kasus-kasus fobia, teknik ini berusaha
mengubah sikap penderita yang semula serba takut menjadi akrab dengan objek
yang justru ditakutinya. Sedangkan pada kasus-kasus obsesi dan kompulsi, yang
biasanya penderita menahan dan mengendalikan secara ketat dorongan-dorongan
agar tidak muncul, penderita justru diminta untuk secara sengaja mengharapkan
agar dorongan-dorongan itu benar-benar mencetus.
Intensi
paradoksikal juga dapat diterapkan kepada penderita insomnia. Rasa takut tidak
bisa tidur memicu keinginan berlebihan untuk tidur, yang malah membuat pasien
malah tidak bisa tidur. Untuk mengatasi ketakutan ini, biasanya Frankl
menganjurkan si pasien untuk mencoba tidak tidur, tetapi melakukan yang
sebaliknya, artinya berusaha sebisa mungkin untuk tetap bangun. Dengan kata
lain, keinginan yang sangat besar untuk tidur yang muncul akibat rasa cemas
yang diantisipasi bahwa dia tidak bisa tidur, harus diganti dengan keinginan
sebaliknya untuk tidak tidur, akibatnya si pasien akan segera tertidur.
Selain
itu, teknik ini mempunyai keterbatasan yang perlu diperhatikan, yakni mempunyai
kontra indikasi dengan depresi, terutama kasus depresi dengan kecenderungan
bunuh diri. Maksudnya, bila teknik ini diterapkan pada kasus depresi dengan
keinginan bunuh diri, maka kemungkinan besar justru akan mendorong penderita
untuk benar-benar melakukan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, jangan
sekali-kali menerapkan teknik ini untuk kasus depresi.
2. Derefleksi
Seperti
halnya intensi paradoksikal, teknik derefleksi pun memanfaatkan
kualitas-kualitas insani dalam gangguan neurosis. Bedanya, jika intensi
paradoksikal memanfaatkan kemampuan mengambil jarak terhadap diri sendiri dan
seakan - akan memandangnya dari luar, maka derefleksi memanfaatkan kemampuan
transedensi diri yang ada dalam diri setiap orang.
Frankl
kemudian mengatakan bahwa refleksi berlebihan bisa diatasi dengan teknik
derefleksi. Sebab, jika intensi paradoksikal dirancang untuk mengatasi
kecemasan antisipatori, derefleksi dirancang untuk bisa mengatasi kompulsi
kepada observasi diri atau pemaksaan ke arah pengamatan diri sendiri. Dengan
demikian, jika intensi paradoksikal menggunakan pola right passivity,
derefleksi menggunakan pola right activity.
3. Bimbingan
Rohani
Bimbingan
rohani merupakan salah satu teknik logoterapi yang mula-mula banyak diterapkan
dalam dunia medis, khusunya untuk kasus-kasus somatogenik. Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya, prinsip-prinsip ini diamalkan juga oleh profesi lain
dalam kasus-kasus tragis non-medis yang tak dapat dihindari lagi. Pendekatan
ini memanfaatkan kemampuan insani untuk mengambil sikap terhadap keadaan diri
sendiri dan keadaan lingkungan yang tak mungkin diubah lagi.
Bimbingan
rohani kiranya dapat dilihat sebagai ciri paling menonjol dari logoterapi
sebagai psikoterapi berwawasan spiritual. Sebab, bimbingan rohani merupakan
metode yang secara eksklusif diarahkan pada unsur rohani atau roh, dengan
sasaran penemuan makna oleh individu atau klien melalui realisasi nilai-nilai
bersikap. Jelasnya, bimbingan rohani merupakan metode yang khusus digunakan
pada penangan kasus dimana individu dalam penderitaan karena penyakit yang
tidak bisa disembuhkan atau nasib buruk yang tidak mampu lagi untuk berbuat
selain menghadapi penderitaan itu.
Melalui
bimbingan rohani, individu yang menderita didorong ke arah merealisasi
nilai-nilai bersikap, menunjukkan sikap positif terhadap penderitaannya,
sehingga ia bisa menemukan makna dibalik penderitaannya.
4. Existential
Analysis
Teknik
ini sangat luas dan luwes, serta memberikan keleluasaan kepada para logoterapis
untuk secara kreatif mengembangkan sendiri metode dan teknik-tekniknya.
II.
Rational Emotive Therapy
Terapi
Emotif Rasional adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa
manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur
maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki
kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan
mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan
mengaktualkan diri. Akan tetapi manusia juga memiliki
kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran,
berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan yang tidak berkesudahan,
takhayul, intoleransi, perfeksionisme dan mencela diri serta menghindari
pertumbuhan dan aktualisasi diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku
pada pola-pola tingkah laku lama yang disfungional dan mencari berbagai cara
untuk terlibat dalam sabotase diri.
a.
Konsep dasar pandangan Ellis tentang
kepribadian
Pandangan
dari pendekatan rational emotive tentang kepribadian dapat dikaji dari
konsep-konsep teori Albert Ellis. Ada tiga pilar yang membangun tingkah laku
individu, kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan teori ABC, yaitu :
1. Antecedent event
(A)
Antecedent event
(A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami individu. Peristiwa pendahulu
yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku atau sikap orang lain. Perceraian
suatu keluarga, kelulusan bagi siswa dan seleksi masuk bagi calon karyawan
merupakan antecedent event bagi seseorang.
2. Belief (B)
Belief
(B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai atau verbalisasi diri individu terhadap
suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang
rasional (rational belif atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irasional
belif atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berfikir atau sistem
keyakinan yang tepat, masuk akal dan bijaksana. Sedangkan keyakinan yang tidak
rasional merupakan keyakinan yang sistem berfikir seseorang yang salah, tidak
masuk akal dan emosional.
3. Emotional consequence
(C)
Emotional consequence
(C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam
membentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan
antecedent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A
tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara lain dalam bentuk keyakinan (B)
baik yang rB maupun yang iB.
Dalam
buku Psikologi konseling dan terapy, Corey memberinama REBT dengan RET. Menurut
Corey (2005: 241) RET adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa
manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dengan jujur
maupun untuk berpikir irrasional dan jahat.
Pendekatan
rational emotive merupakan konseling yang menekankan kebersamaan antara
berpikir dengan akal sehat (rational thinking), berperasaan (emoting), dan
berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang
mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam
cara berperasaan dan berperilaku (Winkell, 1997 : 429).
Berdasarkan
pada apa yang telah dijelaskan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konseling
REBT adalah suatu bentuk bantuan terhadap klien melalui konseling individu yang
berusaha memahami manusia sebagaimana adanya yang berhubungan dengan emosi,
kognisi, dan perilaku yang memiliki potensi untuk berpikir rasional maupun
irrasional dan konseling REBT ini merubah keyakinan irrasional menjadi
rasional.
b.
Unsur – unsur terapi
1. Tujuan
Terapi
Dalam
kontek teori kepribadian, tujuan konseling merupakan efek (E) yang diharapkan
terjadi setelah dilakukan intervensi oleh konselor (desputing/D). oleh karena
itu teori TRE tentang kepribadian dalam formula A-BC dilengkapi pleh Ellis
sebagai teori konseling menjadi A-B-C-D-E(antecedent event, belief, emotional
consequence, desputing, dan effect). Efek yang dimaksud adalah keadaan
psikologis yang diharapkan terjadi pada klien setelah mengikuti proses
konseling.
2. Peranan
dan fungsi terapi
Aktivitas
- aktivitas terapeutik utama TRE dilaksanakan dengan satu maksud utama, yaitu
membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasangagasan yang tidak logis dan
untuk belajar gagasan-gagasan yang logis debagai penggantinya. Sasarannya
adalah menjadikan klien menginternalisasi suatu filsafat hidup yang rasional
sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan-keyakinan dagmatis yang irasional
dan tahayul yang berasal dari orangtuanya maupun dari kebudayaannya.
3. Hubungan
antara terapi dan klien
Pola
hubungan pada konseling ini berbeda denagn sebagian besar bentuk terapi yang
lain. ide dasar pengembangan hubungan adalah menolong klien dalam hal
menghindari sifat mengutuk diri sendiri. Disini terapis harus menunjukkan sifat
penerimaan mereka secara penuh,tidak ada hubungan yang membertikan arti utama
paad kehangatan pribadi dan pengertian empatik, dengan asumsi empatik bisa
menjadi kontra produktif karena bisa memupuk rasa ketergantungan. Tetpi terapis
menekankan hubungan saling mengerti dan membangun kerjasama dan terapis
biasanya sanagt terbuka dan langsung dalam mengungkapkan keyakinan dan nilai
mereka sendiri
c.
Teknik – teknik terapi
1. Assertive adaptive
Teknik
yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara
terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan.
Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
2. Bermain
peran
Teknik
untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan
negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien
dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
3. Imitasi
Teknik
untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan
maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
III.
Terapi Kelompok
Terapi
Kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien
bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau
diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih.
Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk
memberikan stimulasi bagi klien dengan gangguan interpersonal. Keuntungan yang
diperoleh individu melalui terapi aktivitas kelompok ini adalah dukungan
(support), pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan
kemampuan hubungan interpersonal dan meningkatkan uji realitas sehingga terapi
aktivitas kelompok ini dapat dilakukan pada karakteristik gangguan seperti :
gangguan konsep diri, harga diri rendah, perubahan persepsi sensori halusinasi,
klien dengan perilaku kekerasan atau agresif dan amuk serta menarik
diri/isolasi sosial.
Selain
itu, dapat mengobati klien dalam jumlah banyak, dapat mendiskusikan
masalah-masalah secara kelompok, menggali gaya berkomunikasi, belajar bermacam
cara dalam memecahkan masalah, dan belajar peran di dalam kelompok. Namun, pada
terapi ini juga terdapat kekurangan yaitu : kehidupan pribadi klien tidak
terlindungi, klien kesulitan mengungkapkan masalahnya, terapis harus dalam
jumlah banyak. Dengan sharing pengalaman pada klien dengan isolasi sosial
diharapkan klien mampu membuka dirinya untuk berinteraksi dengan orang lain
sehingga keterampilan hubungan sosial dapat ditingkatkan untuk diterapkan
sehari-hari.
a.
Konsep dasar pandangan tentang
kepribadian
Terapi
Kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien
bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau
diarahkan oleh seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih.
Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk
memberikan stimulasi bagi klien dengan gangguan interpersonal. Keuntungan yang
diperoleh individu melalui terapi aktivitas kelompok ini adalah dukungan
(support), pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, meningkatkan
kemampuan hubungan interpersonal dan meningkatkan uji realitas sehingga terapi
aktivitas kelompok ini dapat dilakukan pada karakteristik gangguan seperti :
gangguan konsep diri, harga diri rendah, perubahan persepsi sensori halusinasi,
klien dengan perilaku kekerasan atau agresif dan amuk serta menarik
diri/isolasi sosial.
Selain
itu, dapat mengobati klien dalam jumlah banyak, dapat mendiskusikan
masalah-masalah secara kelompok, menggali gaya berkomunikasi, belajar bermacam
cara dalam memecahkan masalah, dan belajar peran di dalam kelompok. Namun, pada
terapi ini juga terdapat kekurangan yaitu : kehidupan pribadi klien tidak
terlindungi, klien kesulitan mengungkapkan masalahnya, terapis harus dalam
jumlah banyak. Dengan sharing pengalaman pada klien dengan isolasi sosial
diharapkan klien mampu membuka dirinya untuk berinteraksi dengan orang lain
sehingga keterampilan hubungan sosial dapat ditingkatkan untuk diterapkan
sehari-hari.
Terapi
kelompok adalah terapi yang dilakukan melalui sebuah kelompok namun memiliki
kegiatan yang terstruktur dan memberikan efek terapeutik bagi anggotanya. Efek
terapeutik yaitu kegiatan yang dilakukan dalam kelompok akan memberikan efek
terapi kepada masing-masing anggota. Mereka akan belajar untuk membuka diri
mereka, menceritakan masalah mereka, mendengar pendapat atau saran dari anggota
lain.
b.
Unsur – unsur terapi
1. Munculnya
gangguan
Terapi kelompok
digunakan ketika klien tidak berhasil dalam penanganan secara terapi individu.
2. Tujuan
terapi
a) Meningkatkan
identitas diri
b) Menyalurkan
emosi dna membagi perasaan antar sesama didalam kelompok terapis
c) Meningkatkan
keterampilan hubungan sosial
d) Meningkatkan
kemampuan hidup mandiri
3. Peran
terapis
Terapis harus memainkan
peranan yang aktif dalam mendorong kelompok untuk mencapai tujuan atau
harapannya.
c.
Teknik – teknik terapi
Berikut sejumlah teknik
yang dapat digunakan ketika melaksanakan terapi kelompok :
1. Teknik
yang melibatkan para anggota
2. Teknik
yang melibatkan pemimpin
3. Menggunakan
babak-babak terapeutik
4. Teknik
sesekali membantu lebih dari satu anggota
5. Teknik
untuk bekerja dengan Individu secara tidak langsung
6. Teknik
yang menyebabkan para anggota berbagi pada tingkat lebih pribadi
IV.
Terapi Perilaku
Terapi
tingkah laku adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada
berbagai teori tentang belajar. Terapi ini menyertakan penerapan yang sistematis
prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang
lebih adaptif. Berlandaskan teori belajar, modifikasi tingkah laku dan terapi
tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi
yang berurusan dengan pengubahan tingkah laku. Pada dasarrnya, terapi tingkah
laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru, pengapusan
tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku
yang diinginkan.
a.
Konsep dasar pandangan tentang
kepribadian
Terapi
perilaku (Behaviour therapy, behavior
modification) adalah pendekatan untuk psikoterapi yang didasari oleh Teori
Belajar (learning theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi
seperti; depression, anxiety disorders, phobias, dengan memakai tehnik yang
didesain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan dan menghilangkan perilaku
yang tidak diinginkan.
Pada
tahun 1920, Watson dkk melakukan percobaan pengkondisian (conditioning) dan
pelepasan kondisi (deconditioning) pada rasa takut yang merupakan cikal bakal
terapi perilaku formal. Pada tahun 1927,
Ivan Pavlov terkenal dengan percobaannya pada anjing dengan memakai suara bell untuk mengkondisikan
anjing bahwa bel sama dengan makanan, yang kemudian dikenal juga dengan istilah
“stimulus” dan “respon”.
Terapi
perilaku pertama kali ditemukan pada tahun 1953 dalam proyek penelitian oleh BF
Skinner, Ogden Lindsley, dan Harry C. Salomo. Selain itu, termasuk juga Wolpe
Yusuf dan Hans Eysenck.
Secara umum, terapi
perilaku berasal dari tiga Negara, yaitu Afrika Selatan (Wolpe), Amerika
Serikat (Skinner), dan Inggris (Rachman dan Eysenck) yang masing-masing
memiliki pendekatan berbeda dalam melihat masalah perilaku. Eysenck memandang
masalah perilaku sebagai interaksi antara karakteristik kepribadian,
lingkungan, dan perilaku.
Di
Amerika Serikat Skinner dkk. menekankan pada operant conditioning yang
menciptakan sebuah pendekatan fungsional untuk penilaian dan intervensi
berfokus pada pengelolaan kontingensi seperti ekonomi dan aktivasi perilaku.
Ogden Lindsley
merumuskan precision teaching, yang mengembangkan program grafik (bagan
celeration) standar untuk memantau kemajuan klien.
Skinner
secara pribadi lebih tertarik pada program-program untuk meningkatkan
pembelajaran pada mereka dengan atau tanpa cacat dan bekerja dengan Fred S.
Keller untuk mengembangkan programmed instruction. Program ini dicoba ke dalam
pusat rehabilitasi Aphasia dan berhasil. Gerald Patterson menggunakan program
yang sama untuk mengembangkan teks untuk mengasuh anak-anak dengan masalah
perilaku.
Terapis
behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan
lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian utama dari
para terapis sebagai kriteria pengukuran keberhasilan terapi. Manusia menurut
pandangan ini bukan hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan
oleh Sigmund Freud. Dalam konsep behavioral, perilaku manusia merupakan hasil
belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi
kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses terapi merupakan suatu penataan
proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya
agar dapat memecahkan masalahnya. Terdapat beberapa teori dasar mengenai metode
terapi perilaku, yaitu :
1. Perilaku
maladaptif dan kecemasan persisten telah dibiasakan (conditioned) atau dipelajari (learned).
2.
Terapi untuk perilaku maladaptif adalah dengan
penghilangan kebiasaan (deconditioning)
atau ditinggalkan (unlearning).
3. Untuk
menguatkan perilaku adalah dengan pembiasaan perilaku (operant and clasical conditioning).
b. Unsur
– unsur terapi
Fungsi dan Peran
Terapis
Terapis tingkah laku
secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosa tingkah
laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang
diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustive. Krasner (dalam
Corey, 2009) mengajukan argumen bahwa peran seorang terapis, terlepas dari
analisis teorisnya, sesungguhnya adalah “mesin perkuatan”. Apapun yang
dilakukannya, terapis pada dasarnya terlibat dalam pemberian
perkuatan-perkuatan sosial, baik yang positif maupun negatif.
Goodstein (dalam Corey,
2009) juga menyebutkan peran terapis sebagai pemberi perkuatan. Peran konselor
adalah menunjang perlembangan tingkah laku yang secara sosial layak dengan cara
sistematis memperkuat jenis tingkh laku klien semacam itu.
c.
Teknik – teknik terapi
1. Training Relaksasi
Teknik untuk
menanggulangi stress yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, yang mana
seringnya dimanifestasikan dengan simtom psikosomatik, tekanan darah tinggi dan
masalah jantung, migrain, asma dan insomnia. Tujuan metode ini sebagai
relaksasi otot dan mental. Dalam teknik ini, klien diminta rileks dan mengambil
posisi pasif dalam lingkungannya sambil mengerutkan dan merilekskan otot secara
bergantian. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menarik nafas yang dalam dan
teratur sambil membanyangkan hal-hal yang menyenangkan.
2. Desensitisasi Sistemik
Teknik yang cocok untuk
menangani fobia-fobia, tetapi juga dapat diterapkan pada penanganan situasi penghasil
kecemasan seperti situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian,
ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan neurotik serta
impotensi dan frigiditas seksual. Teknik ini melibatkan relaksasi dimana klien
dilatih untuk santai dan keadaan-keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman
pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-situasi
dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang
sangat mengancam. Tingkatan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan
secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil keadaan santai sampai
kaitan antara stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan
tersebut terhapus.
3. Latihan
Asertif
Teknik terapi yang menggunakan
prosedur-prosedur permainan peran dalam terapi. Latihan asertif ini akan
membantu bagi orang-orang yang:
a)
Tidak mampu mengungkapkan
kemarahan/perasaan tersinggung
b)
Menunjukkan kesopanan yang berlebihan
dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya.
c)
Memiliki kesulitan untuk mengatakan
‘tidak’.
d) Mengalami
kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya.
e)
Merasa tidak punya hak untuk memiliki
perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Fokus terapi ini adalah
mempraktekkan kecakapan-kecakapan bergaul yang diperoleh melalui permainan
peran sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketidakmemadaiannya
dan belajar mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara
terbuka disertai kenyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi
yang terbuka itu.
4. Pencontohan
(modelling methods)
Melalui proses
pembelajaran observasi, para klien dapat belajar untuk melakukan
tindakan-tindakan yang diinginkan tanpa proses belajar trial-and-error. Teknik
dapat dilakukan untuk memodifikasi perilaku. Contohnya, seseorang yang takut
ular, maka ketakutannya dapat dihilangkan atau direduksi dengan melihat orang
lain yang tidak takut menghadapi ular.
5. Self-Management Programs,
Teknik ini mencoba menyatukan unsur kognitif dalam proses perubahan perilaku,
dengan asumsi bahwa klienlah yang paling tahu apa yang mereka butuhkan.
Konselor yang mempertimbangkan apakah sesi terapi berjalan baik atau tidak,
disini konselor merupakan mediator.
Self-Directed
Behavior, merupakan teknik dimana perubahan perilaku
diarahkan pada diri klien itu sendiri. Klienlah harus merasa bahwa terapi ini
penting untuk mengatasi masalahnya.
6. Multimodal
Terapi, didasarkan pada asumsi bahwa semakin banyak pengetahuan yang didapatkan
klien selama terapi maka akan semakin sedikit kemungkinan klien akan mengalami
masalah lamanya. Teknik ini menggunakan pendekatan BASIC ID (behavior,
affective respons, sensations, images, cognitions, interpersonal relationships,
dan drugs/biology)
Sumber
:
Bastaman,
H.D. (2007). Logoterapi “psikologi untuk menemukan makna hidup dan
meraih hidup bermakna”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Bastaman,
H.D. (1996). Meraih hidup bermakna. Jakarta: Penerbit Paramadina
Corey
Gerald. (2003). Teori dan praktek
konseling dan psikoterapi. terjemahan e.koeswara. Bandung: Refika Aditama
Mappiare,
Andi AT, (2009). Pengantar konseling dan
psikoterapi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Rawlins,
T.R.P., Williams, S.R., Beck, C.M. (1993). mental
health psychiatric nursing a holistic life cycle approach. St. Louis :
Mosby Year Book.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar